Angka Kematian Bayi Tinggi, Tak Ada yang Peduli Orang Rimba

Mengenaskan dan memprihatinkan benar kehidupan Orang Rimba, suku asli yang termarjinalkan di provinsi Jambi. Kehidupannya semakin terdesak, karena hutan yang menjadi rumahnya, sumber penghidupan komunitas, terus berkurang. Orang Rimba atau sering juga disebut Suku Anak Dalam atau Suku Kubu, semakin lama semakin sulit mengakses sumber daya hutan.
Dan lebih memprihatinkan lagi, keberadaan mereka seperti tak dianggap. Buktinya, sangat jarang kesehatan komunitas Orang Rimba jadi perhatian. Padahal, tingkat kem atian bayi dan ibu melahirkan sangat tinggi. Karena tinggal di dalam hutan, penyakit lain pun rentan dideritanya dan berpotensi menyebabkan kematian.
Tingkat hidup Orang Rimba rendah, kematian bayi dan ibu melahirkan sangat tinggi. Data tentang itu memang tidak ada, karena petugas dari Dinas Kesehatan setempat jarang melakukan pengobatan. "Namun, mencermati data populasi mereka enam tahun terakhir, nyaris tidak ada pertambahan populasi yang berarti," kata Rudi Syaf, Program Manager Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rabu pekan lalu di Jambi.
Ia menyebutkan, Orang Rimba mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di areal seluas lebih kurang 65.000 hektar, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang memiliki luas 131.000 hektar, dan kawasan hutan sepanjang jalan Lintas Sumatera, dari perbatasan Sumatera Selatan dengan Jambi hingga perbatasan Jambi dengan Sumatara Barat.
Data tahun 2002 menyebutkan, yang bermukim di TNBD ada sebanyak 1.300 jiwa, di TNBT 364 jiwa dan di sepanjang jalan Linta s Sumatera 1.259 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan 2.923 jiwa. Sedangkan hasil pendataan KKI Warsi tahun 2008 menyebutkan, jumlah Orang Rimba di TNBD tetap 1.300 jiwa, di TNBT 434 jiwa dan di sepanjang jalan Lintas Sumatera sebanyak 1.375 jiwa. Jumlah kes eluruhan 3.109 jiwa. Artinya, hanya ada pertambahan 186 jiwa sejak tujuh tahun terakhir. Berapa angka kematian per tahun, KKI Warsi tak sempat mendatanya.
Namun dari pengalaman lapangan memberikan pengobatan terhadap Orang Rimba 10 tahun terakhir, diperoleh laporan dari para Tumenggung (petinggi/ketua kelompok Orang Rimba) tingkat kematian tinggi, baik karena melahirkan maupun karena berbagai jenis penyakit, jelas Rudi.

Tak Bisa Intervensi
Sukmareni, dari bagian Komunikasi, Informasi, dan Pembelajaran KKI Warsi yang sering masuk hutan mendampingi lokoter (sebutan Orang Rimba untuk fasilitator kesehatan) dari KKI Warsi, menyebutkan, salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan di komunitas Orang Rimba adalah karena untuk kasus melahirkan, lokoter tak bisa melakukan intervensi.
Proses kelahiran masih dilakukan secara tradisional melalui dukun beranak di komunitas Orang Rimba itu sendiri. Proses kelahiran bagi Orang Rimba, menurut kepercayaannya dianggap sebagai kesempatan mereka didatangi dewa. Karena itu, tak boleh ada orang lain di luar komunitas Orang Rimba ketika prosesi kelahiran terjadi, katanya.
Sedangkan untuk mengobati penyakit Orang Rimba yang dilakukan KKI Warsi, masih ada pembatasan-pembatasan yang tak boleh dilanggar. Misalnya, tenaga medis (lokoter ) laki-laki tidak boleh mengobati dan menyentuh perempuan Orang Rimba. Tabu bagi perempuan Orang Rimba diobati oleh lokoter laki-laki. Sebaliknya, laki-laki Orang Rimba tidak tabu diobati lokoter perempuan.
Menurut Sukmareni, di tengah pola hidup dan konsumsi Orang Rimba yang kurang baik dan pengobatan yang masih tradisional ada kalanya penyakit sulit hilang dari Orang Rimba. Mungkin ini juga yang menyebabkan populasi Orang Rimba cendrung stabil dari waktu ke waktu. Untuk i ni tentu dibutuhkan pengobatan yang lebih jauh memadai untuk kasus-kasus tertentu yang tidak bisa ditangani di rimba seperti TB paru dan penyakit kronis lainnya.
Untuk itulah sejak mendampingi komunitas Orang Rimba dari 10 tahun silam KKI Warsi menempatkan fasilitator kesehatan yang akan membantu Orang R imba untuk pengobatan dan juga menghubungkannya dengan fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas dan rumah sakit, paparnya.
Awalnya pengenalan pengobatan modern bukanlah perkara gampang untuk Orang Rimba. Dengan keyakinan terhadap kekuatan dewa-dewa untuk menyembuhkan segala penyakit, Orang Rimba sangat sulit untuk diajak berobat ke puskesmas apalagi rumah sakit. Butuh waktu yang cuku panjang untuk mengenalkan mereka dengan pengobatan d i luar tradisi mereka.
Fasilitator kesehatan KKI Warsi saat ini ada dua orang, yakni Kristiawan dan Hardiansyah. Mereka setiap bulan rutin mengunjungi kelompok-kelompok orang rimba. Untuk penyakit yang terindikasi ringan , fasilitator kesehatan akan membantu pengobatan mereka. Jika terindikasi penyakitnya kronis akan diupayakan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Menurut Kristiawan, untuk mengakses fasilitas kesehatan publik ini juga bukan perkara mudah. Untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit, awalnya Orang Rimba mengalami kesulitan. Meski mereka warga negara Indonesia, namun mereka tidak tercatat sebagai warga negara di wilayah administratif mana pun. Tak ada KTP atau pun Kartu Keluarga yang bias a digunakan untuk mengurus surat keterangan miskin. Ini juga menjadi rangkaian tugas fasilitator kesehatan untuk bisa meyakinkan para pihak bahwa Orang Rimba meski tanpa KTP mereka adalah keluarga miskin yang layak mendapat pelayanan gratis di rumah sakit atau puskesmas.
Perjuangan untuk bisa mendapatkan pengobatan gratis ini, sejak tahun 2007 lalu, KKI Warsi telah menandatangani nota kesepahaman (MoU ) dengan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Intinya ada kerjasama untuk peningkatan kesejahteraan Orang Rimba . Salah satunya diwujudkan dalam bentuk pemberian kartu berobat gratis (jaminan kesehatan masyarakat) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun. Hingga 2008 sudah ada 472 Jamkesmas yang diberikan kepada Orang Rimba dengan kartu ini Orang Rimba bisa beroba t gratis di pusmesmas atau rumah sakit.
Meski belum semua Orang Rimba memegang kartu Jamkesmas, akan tetapi semua data Orang Rimba telah dimasukkan ke Dinas kesehatan. Dengan data ini, meski tak memegang kartu Jamkesmas orang rimba tetap bisa berobat grat is di puskesmas atau rumah sakit. Untuk Orang Rimba yang berada di Merangin, Warsi juga telah mendorong Puskesmas Pemenang (puskesmas yang paling dekat dengan Orang Rimba yang hidup di daerah Pemenang Kabupaten Merangin Jambi) untuk memberikan pengobatan gratis bagi Orang Rimba, kata Hardiansyah.
Program Manager KKI Warsi Rudi Syaf menggarisbawahi, walaupun sudah ada kartu Jamkesmas, tidak otomatis pula Orang Rimba bisa mendapatkan akses pengobatan. Karena paradigma yang berkembang, setiap Orang Rimba datang berobat, petugas kesehatan pada kabur. "Ada ketakutan petugas kesehatan terhadap Orang Rimba, takut dibawa Orang Rimba melalui kekuatan magisnya," tandas Rudi.
Untuk tahun 2005 ada satu Orang Rimba yang direkomendasikan KKI Warsi guna menjalani operasi tumor di Rumah sakit Abunjani Bangko (Merangin). Tahun 2006 ada 13 Orang Rimba yang di rawat di rumah sakit Abun Jani dan Raden Mattaher Jambi. Tahun 2007 ada tiga dan tahun 2008 juga 3 kasus dirawat di Rumah sakit Hamba Muara Bulian, Kabupaten Batanghari.
Saat ini, kasus TB paru sudah merebak di kalangan Orang Rimba, hampir di semua kelompok ada anggota kelompok yang terindikasi TB p aru. Untuk itu selain mengupayakan pengobatan mereka keluar rimba, harapannya pemerintah dalam hal ini Dinas K esehatan bisa mengambil peran dengan turun langsung ke rimba untuk melakukan pemeriksaan terhadap Orang Rimba. Bagi yang memang positif menderita TB Paru harapannya bisa langsung ditangani melalui puskesmas terdekat.
Rudi Syaf menjelaskan, KKI Warsi juga pernah kerjasama dengan Tim Kesehatan Korem 042 Garuda Putih (Gapu) untuk masuk hutan memeriksa kesehatan Orang Rimba. Tim Kesehatan Korem 042 Gapu secara berkala, sekali 4 bulan berkunjung ke kelompok Orang Rimba di TNBD. 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More