MAJALAH JAMBI MEDICA

Manajer Sirkulasi Melakukan Sosialisasi Majalah Jambi Medica di Posyandu.

AGNES MONICA DAN ZUMI ZOLA

Zumi Zola Bupati terpilih Kabupaten Tanjab Timur.

UCAPAN SELAMAT KEPADA JAMBI MEDICA

Ketua Umum Forum Himpunan Keluarga Kerinci Provinsi Jambi: dr. Meidrin Joni, Sp.Og. Mengucapkan Selamat atas penerbitan Media On-Line dan Majalah Kesehatan JAMBI MEDICA.

UCAPAN SELAMAT KEPADA JAMBI MEDICA

General Manager SALMAN GROUP Manajemen: H. Salman Alfarisi Agus Jaya, ST. mengucapkan Selamat atas penerbitan Media On-Line dan Majalah Kesehatan JAMBI MEDICA .

HASAN BASRI AGUS DAN FACHRORI UMAR

Sukseskan Jambi Emas.

TES AIDS BAGI PNS DI JAMBI



JAMBI MEDICA--Komisi Penanggulangan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi berencana akan mengecek darah seluruh pegawai negeri sipil di daerah itu.

Dihubungi di Kualatungkal, ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), Minggu, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Tanjabbar, Dwikora Sulaksono mengatakan, tujuan pengecekan tersebut untuk mengetahui dan mendeteksi sejauh mana pengaruh penyakit AIDS di masyarakat khususnya kalangan pegawai di lingkup Pemkab Tanjabbar.

"Kami sudah membahasnya dengan Dinas Kesehatan setempat. Jika memang tidak ada itu lebih baik, namun apabila terbukti ada pegawai yang terkena penyakit itu naka bisa ditindaklanjuti sejak dini," ujarnya.

Rencana pengambilan sampel darah seluruh pegawai di Tanjabbar sudah dirancang sejak lama, namun baru tahun ini akan direlaisasikan. "Kami tinggal menentukan kapan waktu pelaksanaannya saja," katanya.

Ia menjelaskan, jika virus tersebut terdeteksi sejak dini maka perkembangan virus paling ditakuti di dunia itu bisa ditekan, sebab tidak banyak orang yang tahu gejala-gejala yang ditimbulkan. Tidak hanya para pegawai di Tanjabbar, KPA Tanjabbar juga berencana melakukan hal yang sama bagi seluruh remaja di daerah itu.

"Kami berharap ada kerja sama yang baik di masyarakat. Bukan untuk mencari siapa yang terkena penyakit, namun semata-mata demi kesehatan seluruh masyarakat," ujarnya.

Berdasarkan data di KPA Tanjabbar, jumlah pengidan HIV maupun AIDS di Jambi tercatat sudah mencapai 600 orang lebih. Khusus di Tanjabbar diperkirakan mencapai angka 130 orang lebih. "Angka tepatnya cukup sulit terdata, mengingat banyak masyarakat yang enggan melapor. Angka yang ada hanya data dari Dinas Kesehatan yang bersumber dari tiap rumah sakit," tambahnya.

Angka Kematian Bayi Tinggi, Tak Ada yang Peduli Orang Rimba

Mengenaskan dan memprihatinkan benar kehidupan Orang Rimba, suku asli yang termarjinalkan di provinsi Jambi. Kehidupannya semakin terdesak, karena hutan yang menjadi rumahnya, sumber penghidupan komunitas, terus berkurang. Orang Rimba atau sering juga disebut Suku Anak Dalam atau Suku Kubu, semakin lama semakin sulit mengakses sumber daya hutan.
Dan lebih memprihatinkan lagi, keberadaan mereka seperti tak dianggap. Buktinya, sangat jarang kesehatan komunitas Orang Rimba jadi perhatian. Padahal, tingkat kem atian bayi dan ibu melahirkan sangat tinggi. Karena tinggal di dalam hutan, penyakit lain pun rentan dideritanya dan berpotensi menyebabkan kematian.
Tingkat hidup Orang Rimba rendah, kematian bayi dan ibu melahirkan sangat tinggi. Data tentang itu memang tidak ada, karena petugas dari Dinas Kesehatan setempat jarang melakukan pengobatan. "Namun, mencermati data populasi mereka enam tahun terakhir, nyaris tidak ada pertambahan populasi yang berarti," kata Rudi Syaf, Program Manager Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rabu pekan lalu di Jambi.
Ia menyebutkan, Orang Rimba mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di areal seluas lebih kurang 65.000 hektar, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang memiliki luas 131.000 hektar, dan kawasan hutan sepanjang jalan Lintas Sumatera, dari perbatasan Sumatera Selatan dengan Jambi hingga perbatasan Jambi dengan Sumatara Barat.
Data tahun 2002 menyebutkan, yang bermukim di TNBD ada sebanyak 1.300 jiwa, di TNBT 364 jiwa dan di sepanjang jalan Linta s Sumatera 1.259 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan 2.923 jiwa. Sedangkan hasil pendataan KKI Warsi tahun 2008 menyebutkan, jumlah Orang Rimba di TNBD tetap 1.300 jiwa, di TNBT 434 jiwa dan di sepanjang jalan Lintas Sumatera sebanyak 1.375 jiwa. Jumlah kes eluruhan 3.109 jiwa. Artinya, hanya ada pertambahan 186 jiwa sejak tujuh tahun terakhir. Berapa angka kematian per tahun, KKI Warsi tak sempat mendatanya.
Namun dari pengalaman lapangan memberikan pengobatan terhadap Orang Rimba 10 tahun terakhir, diperoleh laporan dari para Tumenggung (petinggi/ketua kelompok Orang Rimba) tingkat kematian tinggi, baik karena melahirkan maupun karena berbagai jenis penyakit, jelas Rudi.

Tak Bisa Intervensi
Sukmareni, dari bagian Komunikasi, Informasi, dan Pembelajaran KKI Warsi yang sering masuk hutan mendampingi lokoter (sebutan Orang Rimba untuk fasilitator kesehatan) dari KKI Warsi, menyebutkan, salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan di komunitas Orang Rimba adalah karena untuk kasus melahirkan, lokoter tak bisa melakukan intervensi.
Proses kelahiran masih dilakukan secara tradisional melalui dukun beranak di komunitas Orang Rimba itu sendiri. Proses kelahiran bagi Orang Rimba, menurut kepercayaannya dianggap sebagai kesempatan mereka didatangi dewa. Karena itu, tak boleh ada orang lain di luar komunitas Orang Rimba ketika prosesi kelahiran terjadi, katanya.
Sedangkan untuk mengobati penyakit Orang Rimba yang dilakukan KKI Warsi, masih ada pembatasan-pembatasan yang tak boleh dilanggar. Misalnya, tenaga medis (lokoter ) laki-laki tidak boleh mengobati dan menyentuh perempuan Orang Rimba. Tabu bagi perempuan Orang Rimba diobati oleh lokoter laki-laki. Sebaliknya, laki-laki Orang Rimba tidak tabu diobati lokoter perempuan.
Menurut Sukmareni, di tengah pola hidup dan konsumsi Orang Rimba yang kurang baik dan pengobatan yang masih tradisional ada kalanya penyakit sulit hilang dari Orang Rimba. Mungkin ini juga yang menyebabkan populasi Orang Rimba cendrung stabil dari waktu ke waktu. Untuk i ni tentu dibutuhkan pengobatan yang lebih jauh memadai untuk kasus-kasus tertentu yang tidak bisa ditangani di rimba seperti TB paru dan penyakit kronis lainnya.
Untuk itulah sejak mendampingi komunitas Orang Rimba dari 10 tahun silam KKI Warsi menempatkan fasilitator kesehatan yang akan membantu Orang R imba untuk pengobatan dan juga menghubungkannya dengan fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas dan rumah sakit, paparnya.
Awalnya pengenalan pengobatan modern bukanlah perkara gampang untuk Orang Rimba. Dengan keyakinan terhadap kekuatan dewa-dewa untuk menyembuhkan segala penyakit, Orang Rimba sangat sulit untuk diajak berobat ke puskesmas apalagi rumah sakit. Butuh waktu yang cuku panjang untuk mengenalkan mereka dengan pengobatan d i luar tradisi mereka.
Fasilitator kesehatan KKI Warsi saat ini ada dua orang, yakni Kristiawan dan Hardiansyah. Mereka setiap bulan rutin mengunjungi kelompok-kelompok orang rimba. Untuk penyakit yang terindikasi ringan , fasilitator kesehatan akan membantu pengobatan mereka. Jika terindikasi penyakitnya kronis akan diupayakan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Menurut Kristiawan, untuk mengakses fasilitas kesehatan publik ini juga bukan perkara mudah. Untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit, awalnya Orang Rimba mengalami kesulitan. Meski mereka warga negara Indonesia, namun mereka tidak tercatat sebagai warga negara di wilayah administratif mana pun. Tak ada KTP atau pun Kartu Keluarga yang bias a digunakan untuk mengurus surat keterangan miskin. Ini juga menjadi rangkaian tugas fasilitator kesehatan untuk bisa meyakinkan para pihak bahwa Orang Rimba meski tanpa KTP mereka adalah keluarga miskin yang layak mendapat pelayanan gratis di rumah sakit atau puskesmas.
Perjuangan untuk bisa mendapatkan pengobatan gratis ini, sejak tahun 2007 lalu, KKI Warsi telah menandatangani nota kesepahaman (MoU ) dengan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Intinya ada kerjasama untuk peningkatan kesejahteraan Orang Rimba . Salah satunya diwujudkan dalam bentuk pemberian kartu berobat gratis (jaminan kesehatan masyarakat) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun. Hingga 2008 sudah ada 472 Jamkesmas yang diberikan kepada Orang Rimba dengan kartu ini Orang Rimba bisa beroba t gratis di pusmesmas atau rumah sakit.
Meski belum semua Orang Rimba memegang kartu Jamkesmas, akan tetapi semua data Orang Rimba telah dimasukkan ke Dinas kesehatan. Dengan data ini, meski tak memegang kartu Jamkesmas orang rimba tetap bisa berobat grat is di puskesmas atau rumah sakit. Untuk Orang Rimba yang berada di Merangin, Warsi juga telah mendorong Puskesmas Pemenang (puskesmas yang paling dekat dengan Orang Rimba yang hidup di daerah Pemenang Kabupaten Merangin Jambi) untuk memberikan pengobatan gratis bagi Orang Rimba, kata Hardiansyah.
Program Manager KKI Warsi Rudi Syaf menggarisbawahi, walaupun sudah ada kartu Jamkesmas, tidak otomatis pula Orang Rimba bisa mendapatkan akses pengobatan. Karena paradigma yang berkembang, setiap Orang Rimba datang berobat, petugas kesehatan pada kabur. "Ada ketakutan petugas kesehatan terhadap Orang Rimba, takut dibawa Orang Rimba melalui kekuatan magisnya," tandas Rudi.
Untuk tahun 2005 ada satu Orang Rimba yang direkomendasikan KKI Warsi guna menjalani operasi tumor di Rumah sakit Abunjani Bangko (Merangin). Tahun 2006 ada 13 Orang Rimba yang di rawat di rumah sakit Abun Jani dan Raden Mattaher Jambi. Tahun 2007 ada tiga dan tahun 2008 juga 3 kasus dirawat di Rumah sakit Hamba Muara Bulian, Kabupaten Batanghari.
Saat ini, kasus TB paru sudah merebak di kalangan Orang Rimba, hampir di semua kelompok ada anggota kelompok yang terindikasi TB p aru. Untuk itu selain mengupayakan pengobatan mereka keluar rimba, harapannya pemerintah dalam hal ini Dinas K esehatan bisa mengambil peran dengan turun langsung ke rimba untuk melakukan pemeriksaan terhadap Orang Rimba. Bagi yang memang positif menderita TB Paru harapannya bisa langsung ditangani melalui puskesmas terdekat.
Rudi Syaf menjelaskan, KKI Warsi juga pernah kerjasama dengan Tim Kesehatan Korem 042 Garuda Putih (Gapu) untuk masuk hutan memeriksa kesehatan Orang Rimba. Tim Kesehatan Korem 042 Gapu secara berkala, sekali 4 bulan berkunjung ke kelompok Orang Rimba di TNBD. 

Kebijakan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Gratis pada Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin

Propesma, Sony

Pembimbing: drg. Julia Hendrartini , M.Kes

ABSTRACT: Background Free of charge health service for Anak Dalam Tribe (SAD) has been implemented since the program of health service toward poor community with social security for the poor in health sector (JPS-BK). The fact was that there are still some people in SAD who still had to pay the basic health service. This policy need to be re-examined by finding out stakeholder’s perception especially Bupati (regent), Bappeda (board of regional development planning), head of health district, community leader as well as health provider who had significant role in the implementation of free of charge health service financing for Anak Dalam Tribe in the district of Merangin, province of Jambi. Objective Find out stakeholder’s perception regarding policy, benefit of the policy, obstacles factor as well as utilization on the free of charge health service in Anak Dalam Tribe in the district of Merangin. Method This was a qualitative descriptive research that used case study design in order to obtained data on the utilization and obstacle of free of charge health service financing policy in Anak Dalam Tribe in the district of Merangin. The sample was chosen with purposive sampling method with research subject that was stakeholders that consist of Bupati, head of commission II DPRD (legislative board), head of Bappeda, head of health district and 1 head of Primary Health Care and 3 community leaders of Anak Dalam Tribe. Result There was a difference on the policy of free of charge health service that was given to the community for Anak Dalam Tribe in the district of Merangin such as participant data, organizer management, funding or service provider. The obstacle factor of this policy consisted of limited funding source as the regional government did not provide health service funding for Anak Dalam Tribe, the socialization of policy was never been implemented so that Anak Dalam Tribe did not find out free health service for the community and bureaucracy of free of charge health service required Anak Dalam Tribe to have askeskin (health insurance for the poor) card and SKTM (information letter of economic incapacity). Commitment between regional government and related institution needs to be conducted for the successfulness of the program. Special regulation need to be produced for Anak Dalam Tribe that support the policy of free of charges health service financing. Indeed, Anak Dalam Tribe has been utilized the health service although they had to pay by themselves. Keyword stakeholder’s perception, free of charge health service, Anak Dalam Tribe
INTISARI: Latar Belakang Pelayanan kesehatan gratis bagi Suku Anak Dalam (SAD) diberlakukan sejak ada program pelayanan kesehatan terhadap penduduk miskin dengan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK). Kenyataan dilapangan masih ada suku anak dalam yang harus membayar untuk pelayanan kesehatan dasar. Kebijakan ini perlu dikaji ulang dengan melihat persepsi stakeholder terutama Bupati, Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, tokoh masyarakat serta pemberi pelayanan kesehatan yang cukup berperan terhadap implementasi kebijakan pembiayaan pelayanan kesehatan gratis bagi suku anak dalam di Kabupaten Merangin, propinsi Jambi. Tujuan Penelitian Mengetahui bagaimana persepsi stakeholders tentang kebijakan, manfaat kebijakan, faktor-faktor penghambat serta utilisasi pembiayaan pelayanan kesehatan gratis pada Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin, Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan rancangan studi kasus untuk memperoleh data tentang pemanfaatan dan hambatan Kebijakan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Gratis pada Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin, Pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan subjek penelitian adalah stakeholders yang terdiri dari Bupati, Ketua Komisi II DPRD, Ketua Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan dan 1 orang Kepala Puskesmas dan 3 orang tokoh Suku Anak Dalam. Hasil Penelitian Ada perbedaan kebijakan pembiayaan pelayanan kesehatan gratis yang diberikan kepada komunitas Suku Anak Dalam yang ada di Kabupaten Merangin seperti pendatan kepesertaan, pengelolaan pelaksana, penyediaan dana maupun pelayanan. Faktor penghambat kebijakan ini meliputi sumber dana yang terbatas karena pemerintah daerah sendiri tidak menganggarkan dana pelayanan kesehatan bagi SAD, sosialisasi kebijakan belum pernah dilakukan sehingga SAD tidak mengetahui ada pelayanan kesehatan gratis bagi mereka, dan birokrasi pelayanan kesehatan gratis mengharuskan SAD memiliki kartu askeskin maupun SKTM. Kesimpulan Komitmen bersama antara pemerintah daerah dan instansi terkait perlu dilakukan untuk keberhasilan program ini. Perlu dibuat peraturan khusus bagi SAD yang mendukung kebijakan pembiayaan pelayanan kesehatan gratis ini. Selama ini SAD telah memanfaatkan pelayanan kesehatan walaupun harus membayar sendiri. Kata Kunci Persepsi Stakeholder, Kebijakan pelayanan gratis dan Suku Anak Dalam.
Kata kunci Pembiayaan Pelayanan Kesehatan,Persepsi Stakeholder,Suku Anak Dalam
Deskripsi xii, 53 p., bibl., ills., 29 cm
Bahasa Indonesia
Jenis Thesis
Penerbit [Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada, 2008
Lokasi Perpustakaan Pusat UGM
File Tidak tersedia
* Anda dapat membaca versi cetak dari penelitian ini di Perpustakaan Pusat UGM Unit 3

Hari ini Menkes Resmikan RS Internasional Siloam Hospital

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, rencananya akan meresmikan Rumah sakit Siloam Hospital, Jumat (18/2/2011) besok. Peresmian akan dilangsungkan pukul 14:00 di halaman Siloam Hospital, Jalan Soekarno Hatta, Jambi.
Dana segar sebesar USD 18 juta dikucurkan untuk membangun, memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan Siloam Hospital yang dulu dikenal dengan nama Rumah Sakit Asia Medika ini.

"Rumah sakit ini sekarang telah berstandar internasional," ujar dr Grace Frelita, chief operating medical officer.

”Setelah Siloam Hospital berdiri, warga Jambi tidak perlu lagi pergi ke negara tetangga untuk berobat,” ujar Grace Frelita, chief operating medical officer Siloam Hospital.

"Alat-alat kedokteran berteknologi tinggi telah kita siapkan," tambah Direktur Siloam Hospital Budisuharto saat jumpa pers di hotel Abadi Suite, Kamis (17/2/2011).

PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) hari ini mengumumkan pembukaan rumah sakit senilai US$18 juta di Jambi.

PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) hari ini mengumumkan pembukaan rumah sakit senilai US$18 juta di Jambi.

Perbaikan dan peningkatan yang dilakukan akan menjadikan rumah sakit ini mendominasi daerah Indonesia yang kaya sumber daya alam di bagian Sumatera pusat, dan pada hari ini rumah sakit ini diperkenalkan kepada masyarakat dengan bendera dan manajemen 'Siloam Hospitals' dari LPKR.

Acara peresmian akan dilakukan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH dan Gubernur Jambi, Drs. H. Hasan Basri Agus, MM dan dihadiri oleh tokoh masyarakat, bisnis, dan pemerintahan.

Pada 3 November 2010 lalu LPKR mengumumkan akuisisi rumah sakit Jambi, yang merupakan rumah sakit kelima dalam jaringan rumah sakit Perseroan. Berdasarkan transaksi ini, LPKR mendapatkan 83% kepemilikan dan mengendalikan rumah sakit swasta terkemuka di Kota Jambi tersebut dan sekaligus melakukan investasi peralatan medis tambahan yang akan mengubah kualitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Investasi ini termasuk peralatan mutakhir MRI 1,5 Tesla, CT-Scan 64 slice, Cath-Lab, mesin Ultrasound 4D baru, dan Mamografi.

Setelah ditingkatkan rumah sakit ini akan memiliki 109 tempat tidur, 24 ruang rawat Jalan, 3 ruang operasi, dan spesialisasi di bidang Saraf, Kardiologi, Ortopedi, Hemodialisa, Kemoterapi yang terhubung dengan MRCCC, dan Emergency Trauma.

Terletak di jalan raya protokol utama Jambi dan hanya memerlukan waktu tempuh lima menit dari bandara, rumah sakit ini siap untuk melayani kota Jambi dan daerah sekitarnya dengan jumlah penduduk 1,2 juta jiwa.

Tanah dan bangunan dimiliki oleh rumah sakit dengan ruang luas untuk ekspansi selanjutnya. LPKR memperkirakan akan terjadi kenaikan pendapatan tahunan lima persen dari rumah sakit baru ini.

Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR dalam siaran persnya, Kamis (17/2) mengatakan Perseroan berencana untuk membangun 20 rumah sakit baru dan melakukan akuisisi tambahan jika terdapat peluang, untuk mencapai pendapatan rumah sakit US$500 juta per tahun dalam lima tahun.

Pada 15 November 2010 lalu, LPKR juga mengumumkan akuisisi sebuah rumah sakit di Balikpapan dengan nilai investasi US$26 juta karena melihat rumah sakit ini mendominasi daerah Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, LPKR akan memperoleh 79,61% kepemilikan dan akan mengendalikan Rumah Sakit Husada Balikpapan, rumah sakit swasta terkemuka dan paling modern di kota Balikpapan. LPKR juga akan berinvestasi dalam peralatan medis tambahan yang benar-benar akan mengubah kualitas layanan kesehatan di daerah tersebut.

Selanjutnya, pada 7 Januari 2011, LPKR juga mengumumkan peletakan batu pertama sebuah rumah sakit umum senilai US$26 juta di kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dan gerbang ke provinsi-provinsi di Indonesia Timur, daerah yang paling cepat berkembang di negara ini.

Rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit kedelapan LPKR dan akan berfungsi sebagai rumah sakit rujukan untuk mendukung jaringan rumah sakit di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia, dari Sulawesi, Maluku, NTT, dan Papua.

LPKR baru-baru ini melakukan commissioning rumah sakit ke tujuh dan rumah sakit andalannya yang berlokasi di pusat bisnis Jakarta, yaitu Rumah Sakit Kanker MRCCC (Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center) pada pertengahan Desember 2010, rumah sakit pengobatan kanker terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia. Commissioning MRCCC meliputi simulasi operasional untuk memastikan semua sistem dan peralatan canggih di seluruh area rumah sakit telah terintegrasi untuk memberikan layanan yang aman dan berkualitas. Sebuah layanan dan perawatan berkualitas yang belum pernah didapat sebagian besar masyarakat Indonesia.

LPKR dengan jaringan tujuh rumah sakit yang dimilikinya merupakan grup rumah sakit swasta terbesar di Indonesia. Tahun 2011 pendapatan rumah sakit diharapkan akan dapat tumbuh lebih dari 35%.

HAK DAN KEWAJIBAN: DOKTER DAN PASIEN


istilah-istilah jurnalistik



Sedikit berbagi ilmu tentang istilah-istilah jurnalistik.. Istilah-istilah ini saya ambil dari berbagai sumber.. Semoga dapat sedikit membantu rekan-rekan semua..

A

1. Adversary Journalism: Jurnalistik yang membawa misi penentangan atau permusuhan, yakni beritanya sering menentang kebijakan pemerintah atau penguasa (oposisi).

2. Alcohol Journalism: Jurnalistik liberal yang tidak menghargai urusan pribadi seseorang atau lembaga.

B

1. Balance: Berita yang berimbang antara nara sumber dengan pencari berita (harus dicari berita benar atau tidak, dikonfirmasikan)

2. Byline: Keterangan sang penulis berita.

3. Bejana Seimbang: Teknik penulisan feature.

C

1. Caption: Keterangan photo.

2. Checkbook Journalism: Jurnalistik yang untuk memperoleh bahan berita harus memberi uang pada sumber berita.

3. Chek & Recheck: Merupakan proses sebelum balance (mengecek kebenaran suatu berita)

4. Citizen Journalism: Jurnalisme warga.

5. Credit Line: Keterangan yang mengambil photo.

6. Crusade Journalism: Jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, misalnya demokrasi, sosialis, nilai-nilai Islam atau nilai-nilai kebenaran.





D

1. Development Journalism/Jurnalistik pembangunan/pers pembangunan: Jurnalistik yang mengutamakan peranan pers dalam rangka pembangunan nasional negara dan bangsanya.

2. Delik Pers: Delik yang terdapat dalam KUH Pidana, tetapi tidak merupakan delik yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari delik khusus yang berlaku umum.

3. Dead-Line: Waktu akhir pengumpulan berita.

E

1. Editing: Untuk menambah/mengurangi kata atau pembenaran kata, merupakan proses koreksi.

2. Editorial: Sebuah kolom yang mencerminkan pendapat sebuah media tentang sebuah berita.

3. Electronic Journalism: Pengetahuan tentang berita-berita yang disiarkan melalui media massa modern seperti film, televisi, radio kaset, dan sebagainya.

F

1. Feature: Berita ringan yang biasanya bertemakan human interest.

2. Freelance: Wartawan lepas.

G

1. Gossip Journalism/Jurnalistik kasak-kusuk: Jurnalistik yang lebih menekankan pada berita kasak-kusuk dan isu yang kebenarannya masih diragukan.

2. Government-say-so-journalism: Jurnalistik yang memberitakan atau meliput apa saja yang disiarkan pemerintah layaknya koran pemerintah.

3. Gutter Journalism/Jurnalistik Got: Teknik jurnalistik yang lebih menonjolkan pemberitaan tentang seks dan kejahatan.

H

1. Hak Jawab: Hak seseorang atau kelompok orang untuk memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan yang merugikan nama baiknya.

2. Hak Koreksi: Hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

3. Hak Tolak: Hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainya dari sumber berita yang harus dirahasiakan.

4. Hard News: Berita langsung.

5. Headline: Judul berita jurnalistik.

6. Hunting: Keseluruhan proses pencarian berita/berburu berita atau photo.

I

1. Investigasi: Berita mendalam yang mengungkap sebuah kasus besar.

J

1. Jazz Journalism: Jurnalistik yang mengacu pada pemberitahuan hal-hal yang sensaional, menggemparkan atau menggegerkan, seperti meramu gosip atau rumor.

2. Jurnalisme: Dunia kewartawanan.

3. Jurnalistik: Proses pencarian berita, mengolah berita, dan menyampaikan berita.

4. Jurnalis/Wartawan: Orang yang melakukan kegiatan jurnalistik.

5. Junket Journalism/Jurnalistik foya-foya: Praktek jurnalistik yang tercela, yakni wartawan yang mengadakan perjalanan jurnalistik atas biaya dan perjalanan yang berlebihan diongkosi si pengundang.

K

1. Kantor Berita: Perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.

2. Kewajiban Koreksi: Keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

3. Koresponden: Wartawan yang ditempatkan diluar daerah.

4. Kode Etik Jurnalistik: Himpunan etika profesi kewartawanan.

L

1. Lay Out: Lebih mengarah ke grafis/gambar/ilustrasi/non kata atau perwajahan/tata letak, termasuk setting.

2. Lead: Paragraf pertama dalam berita jurnalistik.

N

1. Nara Sumber: Orang yang memberikan informasi.

O

1. Organisasi Pers: Organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

P

1. Pagar Api: Garis pemisah antara sebuah berita dengan iklan dalam sebuah media cetak.

2. Perusahaan Pers: Badan hukum yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

3. Piramida Terbalik: Teknik penulisan berita langsung (hard news)

Q

1. Quate: Petikan-petikan terpenting/menonjol/membuat heboh/paling menarik pembaca yang biasanya diambil dari keseluruhan berita. Maksudnya untuk memberikan poin yang menarik bagi pembaca.

R

1. Redaksi: Orang yang mengatur segala kebijakan di dalam sebuah media massa.

2. Re-Wraiting: Merupakan proses penulisan ulang, baik dalam bahasa Inggris/dll.

3. Rubrik: Sebuah keterangan halaman dalam media cetak.

S

1. Setting: Tata letak kata/permainan hurup (besar/kecil dan bentuk tulisan)

Wabah Flu Burung di Kerinci



JAMBI MEDICA - Tim kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kerinci dikerahkan ke lima desa yang terserang flu burung guna mengantisipasi menularnya penyakit yang mematikan itu pada manusia.

Kabag Humas Kabupaten Kerinci, Amri Swarta ketika dihubungi Jumat mengatakan, tim kesehatan kini gencar memberikan penyuluhan pada warga di lima desa tersebar di dua kecamatan supaya tidak terular virus yang mematikan itu.
"Kendati sampai saat ini belum ada laporan warga yang tertular penyakit flu burung, namun upaya antisipasi atau pencegahan terus dilakukan," katanya.

Tim kesehatan gencar melakukan penyuluhan, mengajak warga di lima desa itu supaya menghindari atau tidak bersentuhan dengan hewan yang terjangkit penyakit flu burung.

Selanjutnya, bagi warga atau peternak yang tidak bisa menghindari untuk bersentuhan, harus menggunkan sarung tangan, setelah itu mencuci tangan atau mandi bersih menggunakan sabun.

Warga juga diimbau secepatnya melaporkan pada Dinas Kesehatan setempat bila ada keluarganya yang terserang demam panas. Dinas Peternakan setempat juga sudah mengisolasi lima desa itu guna mencegah meluasnya wabah yang mematikan dan bisa menular pada manusia itu.

Lima desa itu meliputi, desa Sleman di Kecamtan Danau Kerinci, serta desa Sebukar, Semerah, Tanjung Muda, Koto Baru Hiang dan Pendung Tengah di kecamatan Sitinjau Laut.
Dinas Peternakan Kabupaten Kerinci bekerjasama dengan berbagai instansi terkait kini bekerja keras melakukan pencegahan lewat pembinaan pada warga dan melakukan penyemprotan.

SEPUTAR GENERAL MEDICAL CHECK UP


Salah satu hal yang paling berharga bagi manusia adalah kesehatan. Berapapun kekayaan atau harta yang dimiliki kalau tidak sehat tentunya tidak bisa menikmati apa yang dimilikinya. Untuk itu tepat kiranya ungkapan yang berbunyi “lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Upaya untuk menjaga kesehatan tubuh adalah dengan melakukan General Medical Chek Up (GMC). Banyak tempat untuk melakukan General Medical Check Up, salah satunya adalah Pantai Bethany Care International.
Pantai Bethany Care International merupakan pusat pemeriksaan kesehatan penyedia sarana pelayanan laboratorium kesehatan bertaraf internasional yang merupakan kerjasama antara Pantai Holding Malaysia dengan Bethany Karya Medika Internasional Indonesia. GMC bertujuan untuk mengetahui atau mendeteksi penyakit sedini mungkin, mengatasi penyakit secara cepat dan tepat dan mencegah agar penyakit yang dideteksi tidak berlanjut. Beberapa penyakit yang bisa dideteksi ketika melakukan GMC adalah Hipertensi, Diabetes Mellitus, Hiperlipidemia, penyakit rematik, asam urat, penyakit darah (Anemia, Leukemia dll), penyakit hati dan kandung empedu (Hepatitis, Seroris Hepatic, Kanker hati, dll), penyakit ginjal (infeksi, kegagalan ginjal) penyakit paru (infeksi, TBC, Tumor)
Pemeriksaan yang dilakukan pada GMC: Hematologi, Urine, Faeces, Glukosa puasa, Profil Lemak (Cholesterol, HDL, LDL, Trigliserida), fungsi hati (OT, PT, Billi direk-indirek, Gamma GT, Fosfatase alkali, HbsAg), Fungsi Ginjal (Ureum, Creatin), Asam Urat. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang lain anadalah USG, X-Ray, ECG, Treadmill, Echocardiography, Vascular Doppler, Biometry, Physical Exam, Consultation.

Membaca Undang-Undang RI No. 36 th 2009 tentang Kesehatan



Membaca Undang-Undang RI No. 36 th 2009 tentang Kesehatan


Jambi Medica,- Membaca Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dimulai dari menimbang,—–terdiri dari 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa undang-undang kesehatan no 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat—– Kemudian —– mengingat ; Undang-Undang Dasar tahun 1945 Negara Republik Indonesia—dan menetapkan undang-undang kesehatan yang terbaru ini, yang terdiri dari 22 bab dan pasal-ke pasal sejumlah 205 pasal, serta penjelasannya.

“Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”


Saya hanya mendapatkan “satu pokok pikiran” setelah membacanya yaitu telah ada niat ingin melakukan perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental pada Undang-Undang Kesehatan sebelumnya (no 23 tahun 1992) bergeser menjadi paradigma sehat.

“Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.”



Ada niat karena setelah membaca undang-undang kesehatan terbaru ini jelas mampu menjawab komplesitas pembangunan kesehatan yang tidak terdapat (tertampung lagi) dalam undang-undang kesehatan yang lama.

“Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan”



Hanya saja Undang-Undang Kesehatan yang baru ini (no. 36 tahun 2009) tidak memuat konsep yang jelas tentang “kesehatan masyarakat” —— mungkin karena undang-undang ini hanya menyangkut tentang kesehatan saja—— sebagaimana inti dari paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat, kemudian masuk kepada induvidu-induvidu atau perorangan,—— tapi biasanya membatasi diri pada induvidu atau perorangan—- bukan kuratif dan rehabilitative yang sasarannya adalah dari induvidu-induvidu kemudian meluas pada masyarakat, yang seharusnya tidak bisa diklaim sebagai kesehatan masyarakat karena sifatnya yang homogen, menyangkut individu——masyarakat itu sendiri sifat heterogen— Bahkan masyarakat ini sendiri tidak dicantumkan dalam ketentuan umum dalam undang-undang kesehatan terbaru ini, sehingga undang-undang kesehatan ini ——–kalau boleh saya katakan——- hanya di peruntukkan untuk pemerintah pusat dan daerah termasuk petugas kesehatan sebagai payung hukum untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Tetapi tidak diperuntukkan untuk masyarakat sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik investasi kesehatan, pemilik hak asasi kesehatan dan sebagai subjek pembangunan kesehatan, SANGAT IRONIS !!!

Masyarakat walaupun dalam undang-undang ini disebutkan seperti pada Bab 1 Ketentuan umum pasal 1 ayat 2 menyebutkan “Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.” Penjelasan dari ketentuan umum seperti yang ada pada bab V tentang sumber daya bidang kesehatan, bahkan keterangan lainnya pada pasal-pasal berikutnya tentang masyarakat tidak ditemukan sama sekali, padahal sangat jelas di atas, ada tiga penyelenggara upaya kesehatan yaitu pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, Apakah mereka (Anggota DPR RI) lupa atau tidak tahu sama sekali, bahwa masyarakat salah salah satu unsur dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Waullahu a’lam!?

Undang-Undang Kesehatan terbaru ini (no. 36 tahun 2009) akan semakin kurang jelas bila dikaitkan dengan mereka yang bekerja dalam lingkup kesehatan masyarakat karena “pengertian kesehatan Masyarakat”, pengertian tentang “kesehatan” memang ada dalam undang-undang ini ( Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 1 ) yaitu “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Namun pengertian tentang kesehatan masyarakat sebagai kunci dari paradigma sehat sama sekali tidak ditemukan.

Saya seorang yang berkecimpung dalam kegiatan epidemiologi kesehatan ———-ilmu yang mempelajari kesehatan masyarakat bukan kesehatan induvidu———– sebagai ibu dari kesehatan masyarakat, hanya bisa menulis bahwa Pendekatan promotif dan preventif yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat, kegiatannya dimulai dari penggerakan pelayanan kesehatan masyarakat kemudian masuk atau membatasi diri kepada kegiatan kesehatan induvidu-induvidu atau perorangan. Sementara kuratif dan rehabilitative yang sasaran kegiatannya dimulai dari kegiatan atau pelayanan kesehatan induvidu-induvidu kemudian meluas dan tidak membatasi diri kepada lingkup masyarakat dan mengklaim sebagai kegiatan yang mencakup masyarakat luas alias kesehatan masyarakat. Yang jelas kuratif dan rehabilitatif adalah pendekatan paradigma sakit yang sudah terbukti gagal dalam proses pembangunan kesehatan Nasional.

Pada penjelasan pasal 3 sedikit dijelaskan tentang kesehatan masyarakat, namun kalau dicermati, pasal 3 dan penjelasannya tersebut hanya merupakan penjabaran dari pengertian tentang “kesehatan” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang kesehatan terbaru ini.

Pasal 3. tersebut menyatakan “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.”

Penjelasannya dari Undang-undang ini adalah “Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan konomis.”

Dalam penjelasan tersebut Pengertian atau definisi tentang kesehatan masyarakat sama sekali tidak ditemukan, padahal dalam Pasal 33 ayat 1 “Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.” Namun “apakah kesehatan masyarakat itu?, tidak jelas atau belum jelas dalam undang-undang kesehatan ini.

Sehingga ketika masuk pada bab II asas dan tujuan, sebenarnya undang-undang kesehatan ini ditujukan kepada siapa, Apakah untuk masyarakat?, yang jelas tidak mungkin secara tersirat ditunjukkan kepada masyarakat tetapi karena tidak tersurat, sehingga undang-undang hanya hanya ditujukkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan.

Bab-bab lainnya dan pasal-pasal selanjutnya misalanya bab III tentang Hak dan Kewajiban, pada bagian pertama tentang hak hanya berisi hak-hak perorangan tentang kesehatan, nanti pada bagian kedua tentang kewajiban berisikan kewajiban kesehatan terhadap diri sendiri, masyarakat dan wawasan lingkungan sehat.

“Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.”



Namun demikian Kewajiban atau tanggung jawab masyarakat itu sendiri tidak ditemukan, —sekali lagi tidak ditemukan——– yang ada hanyalah tanggung jawab pemerintah, seperti yang diuraikan dalam bab IV. Di Bab lain juga hanya ada peran serta masyarakat seperti yang diuraikan pada Pasal 174 dan pasal 175 Bab XVI tentang peran serta masyarakat, berbunyi “ Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, secara aktif dan kreatif”

Namun sekali lagi kesehatan masyarakat, dan atau masyarakat dalam undang-undang kesehatan terbaru ini sepertinya masih perlu dijabarkan lagi atau diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kesehatan, atau telah dijabarkan sebagaimana dicantumkan dalam “Pasal 203 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”

Selamat Tinggal Undang-Undang Kesehatan Yang Lama dan Selamat Atas Berlakunya Undang-Undang Kesehatan Yang Baru. Sebagaimana ditunjukkan Pasal 204. Pada saat Undang-Undang ini berlaku,—— tanggal 30 Oktober 2009—— Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Secara Keseluruhan Sistimatika dari Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah:

Bab I Ketentuan Umum
yang menurut pembacaan penulis kurang sistemetik
dan tidak tuntas penjelasannya misalnya saja pengertian
dari “Kesehatan masyarakat” dan pengertian dari “masyarakat” itu sendiri
Bab II Maksud dan Tujuan
Bab III Hak dan Kewajiban
Bab IV Tanggung Jawab Pemerintah
Bab V Sumber daya Bidang Kesehatan,
yang berisi tentang tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan
Bab VI Upaya Kesehatan,
yang berisi upaya pelayanan kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat :
pelayanan kesehatan;, perbekalan kesehatan,Tehnologi dan produk tehnologi
pelayanan kesehatan tradisional;
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
kesehatan reproduksi;
keluarga berencana;
kesehatan sekolah;
kesehatan olahraga;
pelayanan kesehatan pada bencana;
pelayanan darah;
kesehatan gigi dan mulut;
penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
kesehatan matra;
pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
pengamanan makanan dan minuman;
pengamanan zat adiktif; dan/atau
bedah mayat.
Bab VII Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Bab VIII Gizi
Bab IX Kesehatan Jiwa
Bab X Penyakit Menular dan tidak menular
Bab XI Kesehatan lingkungan
yang bersisi tentang lingkungan yang berwawasan kesehatan (lingkungan sehat) meliputi
limbah cair;
limbah padat;
limbah gas;
sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
binatang pembawa penyakit;
zat kimia yang berbahaya;
kebisingan yang melebihi ambang batas;
radiasi sinar pengion dan non pengion;
air yang tercemar;
udara yang tercemar; dan
makanan yang terkontaminasi.
Bab XII Kesehatan Kerja
Bab XIII Pengelolaan Kesehatan.
yang berisi tentang :
pengelolaan administrasi kesehatan,
informasi kesehatan,
sumber daya kesehatan,
upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan,
peran serta dan pemberdayaan masyarakat,
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan
Bab XIV Informasi Kesehatan
Bab XV Pembiayaan Kesehatan
Yang berisi pembiayaan kesehatan 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk kegiatan preventif dan promotif
Bab XVI Peran serta Masyarakat
disini berisi peran serta masyarakat tetapi masih tersirat masyarakat
masih sebagai objek dalam pembangunan kesehatan
Bab XVII Badan Pertimbangan Kesehatan
Bab XVIII Pembinaan dan Pengawasan
Bab XIX Penyidikan
Bab XX Ketentuan Pidana
Yang berisi ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan, yang menarik dari bab ini adalah pada Pasal 200 “Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) “ Menarik bagi penulis karena ASI eksklusf adalah penentu status kelangsungan dan perkembangan Sumber Daya Manusia yang handal. Dan juga presentase penggunaan ASI Eksklusif yang baru mencapai 25-50%.
Bab XXI Ketentuan peralihan
Bab XXII Penutup

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More